Jakarta Dalam ayat 3 Bab XIV Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, jelas dinyatakan bahwa segala hal seperti, air, tanah, hasil Bumi Indonesia dikuasai oleh Negara untuk Kesejahteraan Masyarakat.
Secara harfiah dalam Pasal tersebut, utuh, menyeluruh bahwa segala hal sensitif, strategis bahkan pribadi (Indonesia) alangkah bijak tetap dikuasai Negara. Termasuk Migas didalamnya.
Kita lihat salah satu elemen tersebut. Migas. Misal, salah satu contoh: penandatanganan kontrak karya (KK) generasi I (Pertama) antara Indonesia dengan salah satu perusahaan besar asal Amerika Serikat di Papua.
Kemudian UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum pertambangan berorientasi kepada modal besar. Saat itu, terdahulu. Bagaimana Kontrak Karya lainnya?
Mari, Masyarakat bersama mencermati Kontrak Karya yang berlaku di Nusantara. Pahami Terlebih Dahulu. Bukan 'Berlagak Idealis' atau 'Nasionalis'.
Untuk Kita Bukan?
Dari berbagai 'rentetan' hal diatas, selanjutnya adalah 'adanya' keberpihakan regulasi pemerintah terhadap kepentingan pemodal (Asing). Apakah benar demikian? UU Migas No 22 Tahun 2001 bagaimana, seperti apa?
Kegiatan Eksplorasi, Alih teknologi
Kegiatan eksplorasi, alih teknologi diletakkan dimana? Pertanyaan ini, silahkan Nusantara, dengan Nurani Menjawab. Apa iya demikian? Mari kita lanjutkan sebagai bahan renungan serta Introspeksi bagi Kita (Indonesia). Pahami Terlebih Dahulu. Sekedar mengingatkan untuk Indonesia bukan?.
Secara umum kita menyadari model Kerjasama dalam bentuk Kontrak. Apakah Kontrak Karya ini menguntungkan bangsa, yang dikeruk hasil alamnya oleh asing.
Semestinya 'Tuan Rumah' yang memberikan jalan, keterbukaan. Kepada investor, pembeli,. Sbagai penentu. Dapat membuat ketergantungan pihak 'Asing' terhadap Kita?.
Indonesia sebagai Pihak Pemilik Sumber Daya
Kita lihat salah satu contoh analogi, misalnya: Singapore membeli sumber daya air bersih ke Malaysia. Apakah ini melalui Kontrak Karya? Singapore benar-benar tergantung akan sumber daya air bersih dari Negara Malaysia. Bagaimana dengan di Kita? Siapa tergantung dengan, terhadap siapa?
Bentuk Kontrak Karya inipun sangat Bijak apabila Indonesia dapat menela'ah kembali. Agar pihak Investor, pembeli yang dapat tergantung dengan Hasil Bumi Kita. Kitalah Penentu.
Kembali Ke Migas
UU Migas Nomor 22 tahun 2001 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 8 tahun 1971. Tentunya, perubahan Undang-undang telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam pengeloaan industri migas Nasional serta kedudukan Perusahaan Lokal milik Pemerintah.
Baiklah, artinya dimana letak alih teknologi? Serta dimana saling menguntungkan (Mutual Benefit) ? Dari Hulu sampai Hilir.
Pembanding
Sebut saja Salah satu perusahaan minyak asal Malaysia, Petronas. Dapat menjadi besar seperti saat ini, mungkin saja karena mereka belajar dari pola UU No 8 Tahun 1971. Siapa yang mengetahui?
Dimana hingga saat ini Petronas oleh PDA 1975 (Petroleum Development Act 1975 Malaysia) tetap diberi Kuasa Pertambangan. Pola hampir sama dengan UU No 8 Tahun 1971.
Transparansi
Belum transparannya kita dalam soal migas, menjadi salah satu unsur serta membuat kurang akuntabelnya pengelolaan sektor ekstraktif.
Berbagai Kontrak-kontrak Karya yang mungkin 'belum' Berpihak Kepada Kita, hendaknya menjadikan 'titik balik', membangun 'Kekuatan Kita' kembali, untuk sekali lagi menela'ah ulang berbagai Kontrak Karya serta Kebijakan tersebut.
Agar kebijakan tersebut 'Senafas', 'Sejalan' dengan Bab XIV Pasal 33 UUD 45. Jangan sampai kita menjadi lemah dimata 'Asing'. Apalagi Dunia.
*Penulis adalah alumni Magister Hukum UNPAD Bandung
Yusuf Senopati Riyanto
Ciganjur Jakarta Selatan
yusuf_riyanto@yahoo.com
(wwn/wwn)
Share this