Perizinan Menara Telekomunikasi

Menara Base Transmitter Station (BTS) sangat vital untuk penyelenggaraan telekomunikasi nirkabel, karena berfungsi menjadi penghubung sinyal antar kawasan. Semakin rapat jarak antar Menara BTS, maka kualitas layanan telekomunikasi menjadi semakin baik. Oleh karena itu, jika suatu kawasan tidak memiliki Menara BTS, maka di kawasan tersebut dapat terjadi blank spot atau tidak terdapat layanan telekomunikasi nirkabel. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan pengguna telepon genggam dan operator telekomunikasi, pertumbuhan Menara BTS juga semakin pesat. Saat ini diperkirakan jumlah Menara BTS yang ada di seluruh Indonesia sudah lebih dari 35 ribu buah dan diprediksikan jumlahnya akan terus bertambah.

Pada kawasan yang padat penduduk, dibutuhkan jumlah Menara BTS yang banyak. Hal itu dikarenakan, setiap Menara BTS memiliki kapasitas maksimal pengguna, sehingga agar kualitas layanan tetap baik, perlu banyak Menara BTS untuk melayani banyak pengguna. Didorong oleh pertimbangan untuk melayani penggunanya, masing-masing operator telekomunikasi secara agresif membangun Menara BTS. Ada dua cara yang umum dilakukan oleh para operator telekomunikasi, yaitu membangun Menara BTS khusus atau menempatkan BTS di puncak bangunan-bangunan tinggi. Pada awalnya, pemerintah pusat maupun daerah tidak begitu menaruh perhatian dalam hal pembangunan Menara BTS ini. Namun belakang hari, pemerintah pusat dan daerah mulai merisaukan fenomena yang kerap disebut sebagai hutan menara.

Pemerintah pusat, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, merespon fenomena hutan menara tersebut dengan mengelurkan Permenkominfo No 2/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Penggunaan Menara Telekomunikasi. Tujuan esensial dari peraturan tersebut adalah menghambat pertumbuhan Menara BTS dengan cara mewajibkan para operator telekomunikasi menggunakan Menara BTS secara bersama-sama. Menariknya, salah satu pasal dalam peraturan tersebut yang intinya menyatakan bahwa Menara BTS boleh didirikan setelah mendapat izin sesuai ketentuan yang berlaku, justru di belakang hari malah menjadi dasar hukum bagi beberapa Pemerintah Daerah untuk menggenjot PAD dari perizinan Menara BTS tersebut. Belakangan hari aturan ini berkembang menjadi persoalan besar, karena Pemda sebagai otoritas pemberi izin-izin tertentu ternyata menolak perpanjangan izin sejumlah Menara BTS dan bahkan merubuhkan Menara BTS yang izinnya tidak diperpanjang tersebut.

Sampai tahun 2010, kasus perubuhan Menara BTS yang paling banyak terjadi adalah di Kabupaten Badung, Bali. Perubuhan tersebut dilakukan secara resmi oleh pihak Pemda Badung berdasarkan Perda Kabupaten Badung No. 6 Tahun 2008 tentang Penataan, Pembangunan, dan Pengoperasian Menara Telekomunikasi Terpadu di Kabupaten Badung yang ditetapkan dan mulai berlaku sejak tanggal 23 Mei 2008. Pada bulan Februari 2009, Pemkab Badung tidak memperpanjang izin Menara BTS dan kemudian merubuhkan 3 buah Menara BTS milik PT. Solusi Kreasi Pratama (Indonesian Tower). Berdasarkan pemberitaan Tempo, Pemkab Badung ternyata sudah memiliki kerjasama dengan satu perusahaan bernama PT. Bali Towerindo Sentra (PT. BTS) sejak tanggal 7 Mei 2007 dan perubuhan Menara BTS milik kompetitor PT. BTS tersebut diduga merupakan salah satu poin yang menjadi kesepakatan antara Pemkab Badung dan PT. BTS. Di satu sisi, pemerintah pusat, melalui Menteri Komunikasi dan Informatika kemudian mengirimkan surat pada tanggal 16 feb 2009 dengan No. 75/M.KOMINFO/2/2009 dengan perihal Penghentian Pembongkaran Menara Telekomunikasi di Kabupaten Badung kepada Menteri Dalam Negeri. Menkominfo meminta Mendagri menginstruksikan Bupati Badung agar untuk sementara waktu menghentikan tindakannya merubuhkan Menara BTS eksisting. Pemerintah pusat bahkan kemudian mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika, dan Kepala BKPM No. 18 tahun 2009, No. 07/PRT/M/2009, No. 19/PER/M.KOMINFO/03/2009, No. 3/P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Menarik untuk dicatat bahwa dalam Peraturan Bersama tersebut Menara BTS dikategorikan sebagai infrastruktur. Di sisi lain, Indonesian Tower sebagai pihak yang dirugikan langsung kemudian menggugat Keputusan Bupati Badung ke PTUN dan Bupat Badung dinyatakan kalah pada tanggal 12 Mei 2009.



Kemudian dalam perkembangannya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha turut terlibat dalam kasus Badung ini. Pada tanggal 20 Mei 2009 melalui Surat No 650/SET/DE/V/2009 KPPU mengemukakan belum ditemukan indikasi pelanggaran thd UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tetapi, pada tanggal 18 Juni 2009, Ketua KPPU kemudian mengirim surat ke Bupati Badung dengan No. 408/K/VI/2009 dengan perihal Saran dan Pertimbangan KPPU terkait Kebijakan Pembangunan Menara Telekomunikasi Terpadu. Ketua KPPU menyarankan agar Bupati Badung menyempurnakan Perda Kab Badung No. 6 Tahun 2008, mencabut hak eksklusif PT. Bali Towerindo Sentra, dan mengizinkan penyelenggara eksisting mengelola menara bersama. Pemkab Badung ternyata tidak mengindahkan saran dan pertimbangan KPPU tersebut. Berkaitan dengan surat KPPU tersebut, Mendagri melalui surat No. 188.342/4331/SJ tertanggal 8 Desember 2009 kemudian juga meminta Bupati Badung menyempurnakan Perda Kab. Badung No. 6 Tahun 2008 dengan alasan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999. Tetapi, ternyata perubuhan terus berlangsung dan sampai pada bulan Februari 2010 tercatat sedikitnya 31 Menara BTS sudah dirubuhkan oleh Pemkab Badung.

Pada tanggal 7 Februari 2010, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan Siaran Pers No. 21/PIH/KOMINFO/2/2010 tentang Kekhawatiran Terhadap Potensi Dampak Perobohan Menara Telekomunikasi di Badung, Bali bagi Kelangsungan Layanan Publik, Perkembangan Pariwisata, dan Stabilitas Keamanan Setempat. Dalam Siaran Pers tersebut menarik untuk dicatat bahwa Kemkominfo menyebutkan Pemprov DKI Jakarta dan Pemprov DI Yogjakarta sebagai Pemda yang dapat menyelesaikan masalah secara elegan dan komprehensif. Namun mengingat bahwa Siaran Pers tersebut tidak memiliki akibat hukum, maka dapat dikatakan bahwa sampai saat ini persoalan terkait tindakan Pemkab Badung merubuhkan Menara BTS tersebut belum ada solusi hukum yang tuntas.

Jika pemerintah serius membenahi sistem hukum, maka kasus perubuhan Menara BTS di Kabupaten Badung ini sebenarnya dapat menjadi pintu untuk merevisi sejumlah perundang-undangan. Pertama, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-Undangan. Dalam UU tersebut perlu diatur secara tegas kedudukan Peraturan Menteri dalam hirarkhi perundang-undangan dan hubungannya dengan Peraturan Daerah. Selain itu, perlu pula diatur secara jelas asas umum perundang-undangan, seperti lex specialis derogat lex generalis atau lex posteriori derogat lex priori, karena dalam prakteknya sekarang ini pemaknaan terhadap asas-asas tersebut telah cenderung simpang siur. Hal ini diperlukan mengingat dalam kasus ini terdapat 2 peraturan yang dikeluarkan oleh Menkominfo yang mengatur obyek hukum yang sama.
Kedua, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Definisi mengenai perjanjian perlu diubah, sehingga tidak hanya perjanjian antar pelaku usaha, tetapi juga antara pelaku usaha dengan pihak non pelaku usaha. Aturan mengenai Persekongkolan perlu diatur ulang dengan memasukkan pasal mengenai larangan pelaku usaha bersekongkol dengan pihak lain untuk menghentikan pengoperasian suatu sarana usaha dari pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar sarana usaha dari pelaku usaha pesaingnya menjadi berkurang baik dari jumlah maupun kualitas. Membuat aturan baru yang memuat kriteria mengenai kebijakan pemerintah atau peraturan yang dianggap melahirkan persaingan usaha tidak sehat dan mengatur akibat hukum terhadap suatu kebijakan pemerintah atau peraturan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

Ketiga, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kedua Undang-Undang tersebut dapat diharmonisasikan berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah di bidang perizinan. Dari praktek yang terjadi selama ini, tampak telah terjadi pergeseran konseptual terkait kewenangan pemerintah di bidang perizinan. Semula perizinan adalah instrumen hukum untuk mengalokasikan sumber daya alam yang bersifat terbatas, mengontrol pengusahaan dari cabang produksi yang mengusai hajat hidup orang banyak, atau mengontrol kegiatan usaha yang dapat membahayakan keselamatan atau mengganggu kenyamanan orang banyak. Tetapi sekarang perizinan di dalam praktek telah direduksi maknanya menjadi sekedar instrumen hukum untuk mendapat uang dari pemohon izin, sehingga perizinan menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi. Kewenangan perizinan yang tanpa kendali juga menjadi penyubur praktek suap-menyuap, kolusi, dan persekongkolan antara aparat pemerintah dan pelaku usaha. Untuk menghambat dan menindak penyalahgunaan kewenangan perizinan tersebut, dalam UU PTUN perlu ada aturan baru yang memuat kriteria pembatalan suatu Keputusan TUN dengan alasan bahwa Keputusan TUN tersebut menguntungkan orang atau korporasi tertentu tetapi berpotensi untuk merugikan perekonomian Negara. Kemudian, dalam UU Pemberantasan Tipikor perlu ada aturan baru yang menyatakan bahwa putusan PTUN yang menggunakan alasan sebagaimana disebutkan di atas dapat digunakan sebagai petunjuk bagi hakim untuk menentukan adanya suatu tindak pidana korupsi.

Tanpa bermaksud mengkomentari secara khusus kasus perubuhan menara telekomunikasi di Badung, saya berpendapat bahwa pada prinsipnya suatu menara telekomunikasi boleh dirubuhkan jika ada bukti ilmiah bahwa menara telekomunikasi tersebut membahayakan keselamatan umum. Selain itu saya berpendapat bahwa terhadap pelaksanaan semua kewenangan perizinan yang dimiliki pemerintah baik pusat maupun daerah yang dianggap diskriminatif atau menguntungkan pribadi, korporasi, atau pihak tertentu, perlu ditelaah lebih mendalam mengenai ada tidaknya unsur tindak pidana korupsi di dalamnya; terutama terkait pelanggaran terhadap Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Akhir kata, semoga ke depan kegiatan penyelenggaraan menara telekomunikasi dapat berlangsung semakin baik dan aman untuk masyarakat, sehingga layanan telekomunikasi dapat diselenggarakan dengan kualitas yang prima dan biayanya makin murah.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »