
INILAH.COM, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak secara keseluruhan perkara Nomor 31/PUU-X/2012 yang dimohonkan mantan Dirut PLN, Eddie Widiono. Pengujian Pasal 6 huruf a dan Penjelasannya Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) itu dinyatakan ditolak setelah mempertimbangkan beberapa hal.
Mahkamah berpendapat permohonan pemohon agar MK menerbitkan putusan provisi yang isinya memerintahkan KPK menghentikan atau sekurang-kurangnya menunda pemeriksaan perkara pemohon di Mahkamah Agung (MA), atau setidaknya menunda berlakunya surat keputusan cekal keluar negeri, sebagai hal yang tidak tepat secara hukum karena tidak terkait langsung dengan pokok permohonan.
Mahkamah menyampaikan sedikitnya tiga alasan, yakni karena pengujian Undang-Undang (judicial review) di MK putusannya hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti memerintahkan KPK untuk menghentikan atau menunda pemeriksaan perkara di MA dan mencabut atau menunda berlakunya surat pencegahan.
Kedua putusan MK tentang norma dalam Pengujian UU bersifat erga omnes, ketiga karena putusan MK bersifat prospektif sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK serta Pasal 38 dan Pasal 39 Peraturan Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang- Undang
Mengenai kewenangan koordinasi KPK dengan BPKP dan BPK, mahkamah berpendapat bahwa hal itu dilakukan dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi. Koordinasi juga dapat dilakukan dengan instansi lain, bahkan KPK bisa membuktikan sendiri diluar temuan BPKP dan BPK. Yakni dengan mengundang ahli atau meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan masing-masing instansi pemerintah.
Kerugian konstitusional yang didalilkan pemohon mengenai sah tidaknya LPHKKN yang digunakan oleh KPK sebagai dasar penetapan penyidikan merupakan kerugian atau potensi kerugian yang dapat terjadi karena pelaksanaan dari proses penegakan hukum atau implementasi terhadap norma-norma dalam UU KPK.
"Sah atau tidak sahnya LPHKKN yang dibuat dan diterbitkan oleh BPKP tidak berkaitan langsung dengan konstitusionalitas norma yang mengatur tugas KPK untuk berkoordinasi dengan instansi-instansi lainnya," ucap Hakim Konstitusi Farida.
Permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon, lanjutnya, merupakan ranah implementasi norma bukan merupakan masalah konstitusionalitas norma. Penyebutan instansi BPKP maupun instansi lainnya dalam Penjelasan Pasal 6 UU KPK tanpa menyebut dan membatasi wewenang dari masing-masing instansi tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai ketentuan yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Selain itu, permohonan Pemohon yang menginginkan agar KPK tidak lagi diperbolehkan untuk berkoordinasi dengan BPKP adalah tidak tepat dan bertentangan dengan tujuan pembentukan KPK, karena hal tersebut justru akan melemahkan pelaksanaan fungsi dan kewenangan KPK sehingga dalil Pemohon tersebut harus dinyatakan tidak beralasan. [tjs]
Share this