Eksekusi Mati Disebut Bentuk Cuci Tangan Kegagalan Pemerintah

CNN Indonesia -- Puluhan organisasi berbasis komunitas pemakai atau pecandu narkotik, yang mengklaim diri sebagai korban keganasan narkotik dan obat-obatan terlarang, melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Di bawah Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), mereka meneriakkan penolakan rencana hukuman mati yang akan dilakukan kepada Rani Andriani, pada Ahad (18/1) nanti Dalam Surat Terbuka itu, PKNI membeberkan empat alasan penolakan. Pertama, PKNI menilai hukuman mati dan eksekusi mati telah terbukti gagal menurunkan angka kejahatan narkotika dan tidak berhasil mengurangi laju jumlah pecandu atau pemakai narkotika di Indonesia. Mereka menilai, sejak Undang-Undang Narkotika Nomor 22 tahun 1997 diterapkan, hingga diberlakukannya UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009, hukuman mati terus dijatuhkan kepada para pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika.

"Namun faktanya, jumlah kejahatan perredaran gelap narkotika dan jumlah pecandu narkotika justru tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Oleh karena itu, alternatif penghukuman harus dipikirkan untuk mengatasi peredaran gelap narkotika, bukan malah terus mengandalkan penghukuman yang tidak efektif," papar PKNI dalam keterangannya yang diterima CNN Indonesia.

Kedua, PKNI menilai, orang-orang yang akhirnya dijatuhi hukuman mati adalah orang-orang yang lemah, rentan dieksploitasi secara psikologis dan terdesak himpintan keuangan. Kebanyakan, mereka adalah dipaksa atau terpaksa menjadi kurir narkotika, bukan gembong yang sesungguhnya.

Tidak hanya itu, PKNI juga mengatakan terjeratnya perempuan di dalam kejahatan narkotika pun seringnya terjadi karena penipuan ataupun dimanipulasi. Mereka menyebut, di saat perempuan tertangkap karena narkotika, penegakan hukum secara buta menuduh mereka terlibat dalam rantai peredaran gelap, dan luput melihat fakta bahwa mereka menjadi korban perdagangan manusia atau korban kekerasan dari pasangannya.

"Rani Andriani adalah contoh perempuan yang terjerat dalam kejahatan narkotika karena tertipu oleh mafia narkotika dan tertekan secara ekonomi dan psikologi," beber PKNI.

Alasan ketiga, dikatakan PKNI, adalah terkait dengan kerugian yang akan dihadapi oleh komunitas pecandu atau pemakai narkoti. Ketika terpidana mati dieksekusi, maka para bandar besar akan terus mencari dan mengeksploitasi individu rentan lainnya, yang terpaksa menjadi kurir narkotik.

"Artinya, kebijakan ini kami pandang bertolak belakang dengan komitmen Nawacita Bapak Presiden Joko Widodo yang hendak merangkul para pecandu atau pemakai narkotika," sebut mereka.

Sedangkan untuk alasan penolakan keempat, PKNI menyebut eksekusi mati terhadap terpidana narkotik sebagai bentuk cuci tangan negara yang telah gagal menjaga yurisdiksi Indonesia dari masuknya peredaran gelap narkotika. PKNI beranggapan, negara seharusnya berupaya maksimal dengan menjaga wilayah perbatasan Indonesia agar tidak dimasuki oleh narkotika.

"Tetapi yang terjadi adalah negara justru melimpahkan bebas kesalahannya kepada para terpidana mati narkotika," kata PKNI.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »