PLN, ‘Hidup Segan Mati Melulu’

Thu, Apr 22nd 2010, 08:53

PLN, ‘Hidup Segan Mati Melulu’

KITA semua mungkin masih ingat iklan salah satu produk lampu Phillips, pabrikan asal Belanda itu dengan slogannya ‘Terus Terang-Terang Terus’. Sekarang coba bandingkan dengan eksistensi PLN di negeri kita yang ‘hidup segan-mati melulu’?. Sebenarnya permasalahan ini bukanlah hal yang baru. Ini masalah klasik, krisis lokal sekaligus nasional. Tapi masih belum juga terselesaikan sampai sekarang. Banyak yang awalnya berpikir bahwa masalah listrik adalah masalah sepele. Namun pada kenyataannya, listrik adalah permasalah serius di dunia yang serba maju seperti sekarang. Tanpa listrik, ekonomi tidak bergerak. Tanpa lampu, pendidikan bisa terhambat.

Ketiadaan listrik bisa menghilangkan nyawa pasien di rumah sakit. Dan bisa jadi, tanpa listrik, pemerintahan lumpuh.Dalam konteks lokal di Aceh, ‘lampu disko’ PLN diduga sudah menjadi masalah bagi hampir semua elemen masyarakat, minus mungkin para pejabat dan awak hana peng griek karena mereka mungkin bisa dengan mudah membeli genset mesin pembangkit listrik besar. Namun tidak demikian halnya dengan masyarakat umum. Mereka malah kembali ke zaman sebelum merdeka. Bahkan di Jeuram-Nagan, diduga seorang siswa SMP tewas, akibat hubungan singkat antara arus genset dan PLN, yang hidup mati. Belum lagi kerugian materil, akibat banyaknya piranti elektronik yang rusak dan tidak bisa lagi dipakai. Padahal negeri ini sudah lebih dari 60 tahun merdeka.

Demikian juga dalam konteks nasional, meskipun PLN sejak tahun 2005 ditasbihkan sebagai negara tertinggi harga listriknya di kawasan ASEAN, dan salah satu termahal didunia bersama Filipina, sebagaimana yang pernah dilansir dalam laporan Bank Dunia, masih saja PLN terus menerus mengalami kerugian. Tahun 2005-2006 saja tarif listrik Indonesia sekitar 6,5 sen dolar AS per kilo-watthour (kwh) atau sekitar Rp 650, jauh lebih tinggi dibanding negara ASEAN lainnya. Bayangkan jika sejak 2006 saja tarif listrik begitu, tahun 2010 yang dikabarkan akan dinaikkan lagi TDL nya, maka seharusnya PLN tidak lagi merugi. Tarif listrik di Indonesia di atas harga standar dunia, tapi mengapa-PLN rugi? Jika masih rugi, terpaksa kelihatannya mungkin PLN gulung tikar dan banting setir menjadi Pabrik Lilin Nasional.

Namun jika ditilik lebih jauh, nampaknya ini merupakan masalah yang kompleks. Dan semua ketidak beresan listrik bermuara pada satu masalah utama, yaitu manajemen energi yang tidak tepat, atau lebih tepatnya salah urus. Lihat saja Pertamina, yang sudah mulai mandiri dan bahkan bisa mengekspor BBM ke sejumlah negara seperti Australia, seharusnya membuat direksi dan jajaran PLN berbenah. Meskipun secara nasional, ada upaya pemerintah dalam memperbaiki kinerja PLN, misalkan dengan mengganti Direktur PLN Pusat, yang sekarang dijabat oleh mantan Pemilik Grup Media Jawa Pos, Dahlan Iskan. Namun kelihatannya kalau PLN masih susah berbenah, maka sampai 100 tahun kedepanpun masalah listrik tidak akan selesai. Dalam hubungannya dengan krisis listrik di Aceh, PLN mengatakan bahwa dalam dua bulan kedepan, tepatnya Juni 2010 akan meningkatkan energi listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik , minimal di Banda Aceh. Namun yang pasti, setiap tahun PLN berkata demikian, dan setiap tahun juga PLN  tidak mampu memenuhi hajat hidup orang banyak itu.

Ada yang mensinyalir bahwa masalah ketertinggalan teknologi energi, seperti kwh yang tetap berjalan dan mesin pembangkit tenaga listrik yang masih memakai bahan bakar minyak, juga menjadi penyebab lain bobroknya kinerja PLN. Teknologi peyaluran daya listrik dengan memakai bahan bakar minyak. Jelas ini tidak bisa lagi dipertahankan karena memang sangat boros. Harus ada alternatif mesin pembangkit tenaga lain, seperti tenaga surya atau tenaga air, atau panas bumi, atau yang renewable dan murah-meskipun investasi awalnya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Karena kalau tetap bergantung pada minyak, maka fakta bahwa 80 persen anggaran PLN hanya dipakai untuk membeli minyak saja. Dan jika subsidi diturunkan atau bahkan dihilangkan, PLN kolaps dan masyarakat dirugikan.

Dari perspektif konsumen, jelas sekali bahwa PLN bisa dikatakan adalah tersangka utama. Meskipun benar bahwa masyarakat kita juga belum bisa sepenuhnya jujur dan hemat dalam menggunakan energi listrik. Sebut saja misalkan, pencurian arus listrik yang masih marak dan tunggakan pembayaran yang cukup besar. Tapi lagi-lagi itu semua bermula dari tidak maksimal dan profesionalnya pelayanan, pengawasan dan distribusi listrik PLN. Bagaimana mungkin kwh tetap berjalan, dan akibatnya masyarakat harus tetap membayar, sementara listrik masih sering mati atau bahkan penghuni rumah tidak memakai listrik.. Bagaimana jika PLN melakukan pemadaman bergilir? Bukankah seharusnya konsumen dikembalikan uangnya? Seperti ketika konsumen telat membayar, maka rekening diputus dan sebagainya?. Oleh karenanya, sangatlah relevan jikalau YLKI meminta agar pemerintah menunda kenaikan TDL tahun ini. Pemerintah harusnya mensurvei dulu daya beli konsumen dan juga pada saat yang bersamaan membenahi manajerial di PLN. Jadi pemerintah tidak hanya melihat PLN yang terus menerus mengaku tidak dapat laba? Tapi juga kondisi sosiologis dan ekonomis masyarakat. Walaupun kelihatannya kementrian ESDM sudah mulai mendengar hal ini, yakni dengan ditundanya kenaikan TDL untuk 2010, namun Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Unit Kerja Presiden bagian pengawasan dan pembangunan, yang pernah menjadi ketua BRR NAD-NiAS, mengatakan pemerintah masih tetap berencana mengurangi subsidi ke PLN agar bisa mandiri pada akhir tahun ini atau tahun depan. Manajemen perencanaan energi pembangkit juga harus diperbaiki, dimana sentralisasi PLN pusat juga membuat PLN Propinsi atau Pemda tidak bisa berimprovisasi mengatasi krisis listrik lokal, meskipun katakanlah propinsi punya sumber daya dan materi yang cukup untuk memenuhi permintaan listrik di daerah, tetap saja hal tersebut belum bisa dilakukan, mengingat birokrasi terpusat yang masih dianut PLN.

Jika memang PLN tidak bisa berubah, maka sudah saatnya jalur class action ditempuh, apalagi bila sampai memakan korban nyawa dan harta benda yang tidak sedikit. Konsumen punya hak. Sangat menyedihkan jika kebutuhan listrik masyarakat saja belum terpenuhi, tapi sudah mencanangkan program menanam 1 juta pohon, meskipun itu diwajibkan dalam ketentuan CSR alias community service responsibility bagi perusahaan-perusahaan. Namun kalau yang wajib saja belum bisa dilakukan mengapa harus melaksanakan yang sunat. Itu tidak memerhatikan asas prioritas. Atau jangan-jangan memang PLN, kalau boleh meminjam istilah Jusuf Kalla, memakai manajemen ‘kerja bergilir’ sebagaimana protap kerja PLN yang senantiasa ‘byar pet’ alias selalu melakukan pemadaman bergilir, sehingga cita-cita agar masyarakat kita bisa ‘bebas pemadaman bergilir’ akan susah terwujud. Alih-alih;listrik masuk desa’ malah berubah menjadi ‘lilin masuk kota’. Alah hom hai.

* Penulis adalah Dosen IAIN Ar Raniry, Banda Aceh

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »